SPARTA, Pasukan Gay Jaman Yunani Kuno, Benarkah?

Setelah kepopuleran film 300 yang mengangkat nama Sparta ke abad modern seringkali terdengar nada miring atau sindiran mengenai mereka. kabarnya sejarah mencatat bahwa Sparta mempopulerkan hubungan sesama laki-laki agar prajuritnya menjadi berani mati karena keberadaan pasangannya di dalam pasukan yang sama. isu yang provokatif ini dibumbui dengan gambaran fisik prajurit Sparta yang kekar berotot dan bertelanjang dada.
sparta in movies
Gambaran Sparta pada Film 300 yang menekankan pada kegagahan fisik daripada akurasi sejarah

Tetapi semuanya hanyalah mitos belaka sama seperti bagaimana pasukan Sparta dalam film digambarkan hampir tanpa busana. padahal dalam sejarah mereka memiliki perlengkapan perang yang layak termasuk seragam dan baju pelindung yang terbaik di jamannya. demikian juga mengenai isu hubungan sesama jenis yang tidak lebih daripada hoax.

Mitos ini dimulai karena beberapa catatan dari negara kota lainnya yang mencoba mendiskreditkan kebesaran Sparta dengan gosip miring karena konflik perbatasan yang sering terjadi. isu tersebut kemudian menjadi semakin panas sehubungan dengan sejarah negara kota Thebes yang memiliki pasukan khusus yang terdiri dari pasangan gay. ditambah dengan praktik pederasty dalam masyarakat yunani kuno, tampak klop sudah fakta pendukungnya.

Tetapi Sacred Band of Thebes (nama pasukan homo dari Thebes tersebut) adalah pengecualian, sangat unik dan hanya satu-satunya di dalam sejarah yunani kuno. bukan merupakan gambaran atau contoh bahwa praktik semacam itu diterima secara luas oleh masyarakat yunani kuno. umumnya negara kota lainnya di yunani kuno melihat praktik gay sebagai suatu penyimpangan, sama seperti bagaimana masyarakat modern melihatnya.
Tampilan prajurit Sparta yang lebih mendekati kenyataan sejarah, berpelindung lengkap sehingga sulit dikalahkan

Bukti nyata penolakan mereka adalah bagaimana para gay di kebanyakan negara kota yunani kuno akan kehilangan hak suara dan kewarganegaraan mereka. status mereka disamakan dengan wanita atau budak. penurunan status ini terjadi karena seorang laki-laki diharapkan menikah dan memiliki keturunan agar bisa berkontribusi terhadap kelanjutan negara kotanya. ketidakmampuan untuk menjalani fungsi tersebut membuat mereka impoten secara politis.

Patut diperhatikan bahwa yunani kuno terutama bagi Athena dan negara kota satelitnya adalah masa dimana kesetaraan wanita berada pada salah satu titik terendahnya. sebelum dan setelah era yunani kuno wanita mendapati kebebasan dan status yang lebih sederajat dengan kaum laki-laki.

Lalu mengapa menjadi sensasi, bukankah tidak ada asap tanpa api?

Adalah cara bimbingan atau pendidkan di jaman tersebut yang sering membuat salah paham. dalam praktiknya anak laki-laki akan diperkenalkan kepada ahli filusuf atau tokoh lainnya agar diambil sebagai murid. ketika itu institusi seperti sekolah belum ada sehingga apprenticeship dianggap ideal. seorang guru menerima satu orang murid sampai kelulusan sebelum menerima murid lainnya.

Jumlah murid yang diambil memang hanya satu karena mereka sering berpergian untuk mengajar, menghadiri seminar, memenuhi undangan raja atau tugas penting lainnya. membawa lebih dari satu murid dianggap membebani tuan rumah dimana ia bertamu atau menginap. sang guru juga bisa dinilai rakus atau mata duitan apabila menerima beberapa murid sekaligus.

Sang murid akan menjadi pelayan apabila sang guru tidak memilikinya dan hidup bersamanya. ia akan mempelajari banyak hal dalam perjalanan dan yang terpenting adalah diperkenalkan dengan tokoh-tokoh penting di berbagai posisi penting di berbagai daerah yang akan berguna bagi masa depannya ketika ia bekerja dalam posisi penting di pemerintahan atau dunia bisnis.

Sekilas tidak ada masalah. hanya saja praktik yang berlaku secara umum ini dirusak oleh oknum-oknum yang menyimpang. apabila normalnya seorang guru menilai dari bakat dan kepandaian sang murid serta kedudukan orangtuanya, beberapa oknum memiliki pertimbangan lain yakni fisik sang murid. anak muda laki-laki yang belum tumbuh bulu wajah dan berparas "cantik" dianggap sebagai sosok murid ideal bagi mereka.
pederasty
Perhatikan janggut, kumis atau bulu wajah yang membedakan usia dan status keduanya

Hal ini terjadi karena pada masa tersebut terdapat pandangan populer bahwa berhubungan dengan wanita dianggap rendah, tidak lebih dari sebagai pemuas nafsu belaka. karena itu para filusuf walaupun memiliki istri dan memiliki anak tetapi setelahnya sebisa mungkin menjaga jarak untuk membuktikan integritas mereka sebagai tokoh panutan yang terbebas dari hawa nafsu.

Banyak oknum yang mencari jalan keluar dengan menggunakan muridnya yang berfisik seperti "wanita" sebagai pemuas. secara teknis ia tidak bersalah karena pada waktu itu peraturan mengenai hal tersebut tidak jelas. belum lagi bagi murid yang masih ABG tindakan sang guru yang bagaikan bintang film pujaan dianggap sebagai suatu kehormatan. orangtua pun tidak merasa jadi masalah karena anak mereka akan lebih terjamin sebab menjadi favorit sang guru.

Praktik yang dikenal sebagai pederasty kemudian berkonotasi sebagai hubungan sesama jenis antar lelaki yang berbeda usia, dewasa dengan anak-anak ataupun sebayanya. banyak peninggalan sejarah yunani kuno yang menggambarkan hal ini sehingga membuat masyarakat modern beranggapan kalau hal ini diterima secara umum. padahal tidak demikian, antara seni populer dan kenyataan sejarah belum tentu sejalan.
Achilles and Patroclus
Achilles dan Patroclus bukanlah kakak-adik tetapi "pasangan" sama seperti dewa Apollo dan Hyacinthus, atau Alexander The Great dan Hephaestion

Pederasty sendiri memiliki aturan ketat apa yang boleh dilakukan dan tidak. pertama hukum membatasi bahwa hal ini harus dihentikan ketika sang bocah tumbuh bulu atau rambut wajah. secara politis dan hukum mereka dianggap bukan lagi anak-anak tetapi dewasa yang sejajar sebagai warga negara. yang kedua, tidak boleh ada penetrasi baik di kutub selatan atau bagian lainnya.

Laki-laki walaupun masih di bawah umur dianggap memiliki status yang tinggi. penetrasi yang dianggap mendominasi penerimanya tidak pantas dilakukan karena akan merendahkan martabatnya. hal tersebut tabu dilakukan karena dipercaya akan merusak psikis sang anak dan merubahnya menjadi kewanitaan secara permanen. dominasi hanya boleh dilakukan pada yang kedudukannya lebih rendah yakni wanita dan budak.

Lalu bagaimana dengan Sparta?

Tercatat mereka sangat keras terhadap praktik semacam ini. setelah reformasi yang membedakan mereka dari dunia luar, Sparta melihat gay atau homo sebagai sesuatu yang menjijikan. karenanya menekankan pendidikan tradisional militeristik ala mereka sendiri yang terbebas dari pengaruh tersebut. dalam pendidikan Sparta lelaki senior akan berperan sebagai seorang bapak yang mendidik dan memandu juniornya layaknya anak mereka sendiri.
sparta movie poster
yang ngefans dengan Sparta bisa bernafas lega, mereka terbebas dari isu jeruk makan jeruk yang tidak jantan

Di Sparta seorang gay atau homo akan dibuang dari masyarakat atau dihukum bunuh diri paksa demi menjaga kehormatan keluarganya. bagi Sparta fenomena hubungan gay atau homo yang banyak terjadi di yunani kuno adalah bukti bahwa kebebasan berpikir ala Athena itu sesat dan kebablasan. uniknya hal ini justru menyebabkan mereka dianggap kuno dan kolot oleh negara kota tetangganya.

Bagi Sparta semua warga laki-laki selain diharuskan menjalani latihan militer juga diwajibkan membangun keluarga. secara spesifik mereka ditugaskan untuk menghasilkan putra-putri Sparta yang kuat untuk menggantikan mereka, menjaga cara hidup tradisional dan mengembangkan kemampuan negara. karena itu Sparta lama menjadi kekuatan dominan di yunani kuno. bukan hanya karena kekuatan militernya tetapi juga karena pandangannya yang lebih rasional.


0 Response to "SPARTA, Pasukan Gay Jaman Yunani Kuno, Benarkah?"

Posting Komentar